MAKALAH LANDASAN PEMBELAJARAN:

“BELAJAR, SUMBER BELAJAR, BUDAYA BELAJAR,

POTENSI SEKOLAH, DAN BELAJAR BERBASIS MASALAH”

 

logo ihdn

 

DOSEN PENGAMPU:

Drs. I KETUT TANU, M.Si

OLEH

I WAYAN RUDIARTA

16.1.2.5.2.0916

KEMENTERIAN AGAMA

PROGRAM PASCA SARJANA

INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI

DENPASAR

2016

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

            Dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 1 disebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dalam proses pendidikan selalu melibatkan proses belajar, sebagaimana menurut Hilgard dan Bower dengan bukunya Theories of Learning dalam Purwanto (2007: 84) yang mengemukakan “Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat dan sebagainya).”

            Belajar merupakan suatu kaharusan bagi siswa, karena tanpa melalui proses belajar pengetahuan tidak akan sampai pada siswa itu sendiri. Cara belajar siswa memang ada banyak, misalnya dengan mendengarkan, diskusi, membaca, menonton, atau cara lainnya yang dapat memberikan pengetahuan pada siswa itu sendiri. Belajar juga tidak hanya bisa dilakukan di lingkungan sekolah saja, tetapi keluarga dan masyarakat merupakan tempat yang sangat baik untuk melakukan proses belajar. Ketiga tempat berlangsungnya kegiatan belajar tersebut kemudian sering disebut sebagai Tri Pusat Pendidikan. Akan tetapi kerap kali ada kesalahan paradigma di masyarakat yang memandang bahwa hanya sekolahlah tempat anak belajar, sehingga tugas sekolah menjadi lebih berat.

            Dengan bersinerginya Tri Pusat Pendidikan sesungguhnya akan mempermudah berlangsungnya proses belajar pada siswa. Akan tetapi kemudahan dalam belajar akan lebih terasa apabila ada sumber belajar yang semakin banyak. Sebagaimana Wina Sanjaya (2008) menyatakan bahwa sumber belajar adalah segala sesuatu yang ada disekitar lingkungan kegiatan yang secara fungsional dapat digunakan untuk membantu optimalisasi hasil belajar, proses berupa interaksi siswa dengan berbagai macam sumber yang dapat merangsang siswa untuk belajar dan mempercepat pemahaman dan penguasaan bidang ilmu yang dipelajarinya.

            Seluruh Stake Holder pendidikan akan semakin dipermudah apabila sumber belajar yang ada semakin beragam. Dengan ketersediaan sumber belajar pula, motivasi siswa untuk belajar akan semakin meningkat, sebagaimana menurut Wlodkowski dan Jaynes (2004: 11-12) bahwa motivasi belajar itu adalah suatu nilai dan dorongan untuk belajar. Dan hal ini berarti bahwa anak tidak hanya sudi belajar tetapi juga menghargai dan menikmati aktvitas belajar seperti mereka menghargai dan menikmati hasil belajarnya. Apabila motivasi belajar siswa telah tumbuh, hal ini tentunya berdampak sangat positif dalam menumbuhkan budaya belajar dalam dunia pendidikan itu sendiri.

            Untuk membuat belajar menjadi sebuah budaya berawal dari sebuah kesulitan, namun jikalau ada kemauan untuk menumbuhkannya pasti ada jalan. Menurut Rusyan (2007: 12) budaya belajar merupakan serangkaian kegiatan dalam melaksanakan tugas belajar yang dilakukan. Kita menjadikan belajar sebagai kebiasaan, dimana jika kebiasaan itu tidak dilaksanakan, berarti melanggar suatu nilai atau patokan yang ada, dan menjadikan belajar sebagai kegemaran dan kesenangan, sehingga motivasi belajar muncul dari dalam diri kita sendiri, yang akhirnya produktifitas belajar meningkat. Dengan adanya budaya belajar, masalah-masalah dalam dunia pendidikan terutama berkenaan dengan kurangnya motivasi belajar siswa cepat atau lambat akan dapat diatasi. Dan ketika hal ini dapat diatasi, maka akan semakin meningkatkan potensi sekolah menjadi salah satu pusat pendidikan yang berkualitas.

            Potensi sekolah akan semakin terlihat apabila seluruh komponen sekolah mampu menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing dengan baik. Siswa mampu menunaikan tugasnya untuk belajar dengan baik, guru mampu mengajar dengan strategi dan metode yang sesuai dengan harapan dan psikologis siswa serta guru mampu mengajar dengan menemukan benang merah antara teks (kajian buku) dengan konteks (keseharian siswa). Dengan metode tersebut, siswa akan mampu belajar pula dari pengalaman sehingga akan merasakan bahwa pelajaran yang diterima memang benar adanya. Olehnya untuk pengembangan potensi sekolah, pembelajarn berbasis masalah juga sangat diperlukan.

Bern dan Erickson dalam Komalasari (2013: 59) menegaskan bahwa pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning) merupakan strategi pembelajaran yang melibatkan siswa dalam memecahkan masalah dengan mengintegrasikan berbagai konsep dan keterampilan dari berbagai disiplin ilmu. Strategi ini meliputi mengumpulkan informasi, dan mempresentasikan penemuan. Dengan penerapan strategi ini, diharapkan potensi sekolah akan semakin meningkat berawal dari kenikmatan yang dirasakan siswa dalam belajar yang berujung pada meningkatnya motivasi belajar. Apabila harapan ini dapat terlaksana, maka tujuan pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa akan mampu tercapai.

Berdasarkan latar belakang tersebut, sebagai wujud kegiatan akademis dan sumbangsih pemikiran, maka melalui makalah ini penulis berupaya membahas terkait belajar, sumber belajar, budaya belajar, potensi sekolah, dan belajar berbasis masalah.

1.2 Rumusan Masalah

            Dari latar belakang yang telah penulis uraikan dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan mendasari penulisan makalah ini, yaitu:

  1. Apakah pengertian belajar?
  2. Apakah yang dimaksud dengan sumber belajar?
  3. Bagaimanakah wujud budaya belajar?
  4. Bagaimanakah konsep potensi sekolah?
  5. Bagaimanakah konsep dasar Pembelajaran Berbasis Masalah?

1.3 Tujuan Penulisan

            Dalam penulisan makalah ini, tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:

  1. Tujuan Umum

Secara umum tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai pemenuhan persyaratan kelulusan mata kuliah Landasasan Pembelajaran yang berorientasi pada pemahaman mengenai belajar dan konsep-konsep terkait aktivitas belajar dan pembelajaran.

  1. Tujuan khusus

Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Untuk mendeskripsikan pengertian belajar.
  2. Untuk memahami mengenai sumber belajar.
  3. Untuk mendeskripsikan wujud dari budaya belajar.
  4. Untuk mendeskripsikan konsep terkait potensi sekolah.
  5. Untuk mendeskripsikan konsep mengenai belajar berbasis masalah.

1.4 Manfaat Penulisan

            Dengan penulisan makalah ini, ada beberapa manfaat yang akan diperoleh, yaitu sebagai berikut:

  1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, manfaat yang diproleh dari penulisan makalah ini adalah dapat dipahaminya konsep mengenai belajar dan aktivitasnya di dunia pendidikan sebagai langkah guna mencapai tujuan pendidikan nasional.

  1. Manfaat Praktis

Secara praktis, manfaat yang diproleh dari penulisan makalah ini adalah:

  1. Bagi Penulis

Semakin bertambahnya pemahaman penulis mengenai konsep belajar, sumber belajar, budaya belajar, potensi sekolah, dan belajar berbasis masalah.

  1. Bagi Program Pasca Sarjana Dharma Acarya IHDN Denpasar

Hasil penelitian ini akan menjadi tambahan referensi bagi Program Pasca Sarjana Dharma Acarya IHDN Denpasar.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Belajar

  1. Ngalim Purwanto (2007: 84) mengungkapkan adan banyak ahli yang telah mendefinisikan apa itu belajar. Di antaranya adalah definisi yang diungkapkan oleh:
  2. Hilgard dan Bower, bukunya Theories of Learning (1975) mengemukakan “Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, di mana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat dan sebagainya).”
  3. Gagne, dalam bukunya The Conditions of Learning (1977) menyatakan bahwa: “Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya (performance-nya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi.”
  4. Morgan, dalam bukunya Introduction to Psykology (1978) mengemukakan: “Belajar adalah setiap perubahan yang relatif rmenetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.”
  5. Witherington, dalam buku Educational Psykology mengemukakan “Belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru daripada reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian atau suatu pengertian.”

Sementara Sumadi (2004: 232) menyatakan bahwa balajar itu memiliki beberapa konsep, yaitu:

  1. Belajar itu membawa perubahan baik aktual maupun potensial.
  2. Perubahan itu didapatkan dari kecakapan baru.
  3. Perubahan itu terjadi karena usaha (dengan sengaja).

Jadi dari beberapa pandangan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu aktivitas yang menyebabkan terjadinya perubahan pada siswa baik dalam tingkah laku (sikap), kemampuan kognitif, kebiasaan, atau lainnya yang dilakukan dengan sengaja. Ketika suatu aktivitas sudah menyebabkan perubahan pada seseorang maka orang tersebut dapat dikatakan telah melalui proses belajar, baik itu dalam tataran positif maupun negatif.

Dalam proses belajar, biasanya tidak semuanya mau melakukannya sepenuh hati, dan oleh Wlodkowski dan Jaynes (2004: 12) disebutkan Anak yang menghargai belajar adalah anak yang berbakat karena anak semacam itu akan menjadi seorang pelajar abadi. Ia adalah anak yang tertarik untuk membaca, menulis, berpikir, berhitung dan memecahkan masalah. Olehnya tidak salah diantara semua siswa yang terdapat di sebuah kelas ada yang sangat semangat dalam belajar dan ada pula terlihat bahwa hanya karena terpaksa berada di dalam kelas.

Terkait dengan aktivitas belajar, dalam konsep Agama Hindu juga sudah secara jelas tertuang dalam ajaran Sarasamuccaya sloka 4 sebagai berikut:

Apan ikang dadi wang, Uttama juga ya, Nimitaning mangkana, Wenang ya tumulung awaknya sangkeng sangsara, makasadhanang subhakarma, hinganing kottamaning dadi wang ika.

Artinya:

Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama; sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) demikianlah keutamaan dapat menjelma menjadi manusia. (Sudharta, 2009: 5)

Dari sloka tersebut dapat dimaknai bahwa aktivitas belajar yang dilakukan manusia adalah untuk mengubah diri ke arah yang lebih baik. kelahiran ke dunia ini ibaratnya kesempatan untuk menempuh perbaikan karma. Apabila manusia mau belajar untuk mencapai perubahan diri tersebut maka berhasillah kelahiran sebagai manusia. Namun kelahiran itu belum mampu menolong diri sendiri ketika kesempatan lahir ke dunia ini tidak dimanfaatkan untuk belajar mengenai hakikat sang diri secara sungguh-sungguh.

2.1.1 Fase-fase dalam belajar

            Menurut Menurut Jerome S . Bruner dalam Muhibbin (2003: 110) disebutkan ada 3 tahapan yang harus dilalui dalam proses belajar, yaitu:

  1. Tahap informasi (tahap penerimaan materi)
  2. Tahap transformasi (tahap pengubahan materi)
  3. Tahap evaluasi (tahap penilaian materi)

Dalam tahap informasi, seorang siswa yang sedang belajar memperoleh sejumlah keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari. Di antara informasi yang diperoleh itu ada yang sama sekali baru dan berdiri sendiri, ada pula yang berfungsi menambah, memperhalus, dan memperdalam pengetahuan yang sebelumnya telah dimiliki. Dalam tahap transformasi, informasi yang telah diperoleh itu dianalisis, diubah, atau ditransformasikan menjadi bentuk yang abstrak atau konseptual supaya kelak pada gilirannya dapat dimanfaatkan bagi hal-hal yang lebih luas. Bagi siswa pemula, tahap ini akan berlangsung sulit apabila tidak disertai dengan bimbingan guru yang diharapkan kompeten dalam mentransfer strategi kognitif yang tepat untuk melakukan pembelajaran tertentu. Dalam tahap evaluasi, seorang siswa menilai sendiri sampai sejauh mana informasi yang telah ditransfornasikan dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala atau memecahkan masalah yang dihadapi. Tak ada penjelasan rinci mengenai cara evaluasi ini, tetapi agaknya analogi dengan peristiwa retrieval untuk merespons lngkungan yang sedang dihadapi.

Menurut Wittig (1981) yang tertuang dalam bukunya Psychology of learning dalam Muhibbin Syah (2003: 111), disebutkan bahwa setiap proses belajar selalu berlangsung dalam tiga tahapan yaitu: 1) acquisition (tahap perolehan/penerimaan informasi); 2) storage (tahap penyimpanan informasi); 3) retrieval (tahap mendapatkan kembali informasi). Pada tingkatan acquisition seorang siswa mulai menerima informasi sebagai stimulus dan melakukan respons terhadapnya, sehingga menimbulkan pemahaman dan perilaku baru. Pada tahap ini terjadi pila asimilasi antara pemahaman dengan perilaku baru dalam keseluruhan perilakunya. Proses acquisition dalam belajar merupakan tahap paling mendasar. Kegagalan dalam tahap ini akan mengakibatkan kegagalan pada tahap-tahap berikutnya. Pada tingkatan storage seorang siswa secara otomatis akan mengalami proses penyimpanan pemahaman dan perilaku baru yang ia proleh ketika menjalani proses acquitision. Peristiwa ini sudah tentu melibatkan fungsi short term dan long term memori. Pada tingkatan retrieval seorang siswa akan mengaktifkan kembai fungsi-fungsi sistem memorinya, misalnya ketika ia menjawab pertanyaan atau memecahkan masalah. Proses retrieval pada dasarnya adalah upaya atau peristiwa mental dalam mengungkapkan dan memproduksi kembali apa-apa yang tersimpan dalam memori berupa informasi, simbol, pemahaman, dan perilaku tertentu sebagai respons atau stimulus yang sedang dihadapi.

            Dalam melalu fase-fase belajar ini, Sri Sathya Sai (2007: 76) menyebutkan bahwa ibu adalah guru pertama. Adalah ibu yang dapat mengajar pelajaran benar kepada anak dan membuat ia melangkah ke jalan benar. Pada zaman modern ini, adalah ayah yang mengajar anaknya mengatakan dusta. Jika telepon berbunyi ketika ayak duduk pada meja makan  dan ayah tidak berminat berbicara dengan orang itu, ia meminta anaknya memberitahu penelpon bahwa ia tidak ada di rumah. Jadi, apakah ayah dan ibu yang telah mengajarkan anak berbicara tidak benar? Dan perihal mengajarkan hal yang tidak baik ini sesungguhnya dimulai pada zaman Dvapara Yuga, yang mana ketika Drtarasta memiliki 100 anak yang jahat, tetapi ayahnya yang buta selalu mengatakan bahwa anaknya baik.

            Dan tentunya dari kisah raja Drtarasta tersebut ada sesuatu yang tidak berjalan dalam fase belajar ini, sehingga belajar yang dilakukan tidak terjadi secara utuh dan hasilnya juga tidak mampu memberikan keuntungan bagi banyak pihak.

2.1.2 Teori-teori Belajar

            Berikut ini akan diuraikan beberapa teori belajar dari beberapa pakar, diantaranya:

  1. Connectionism (Koneksinisme)

Teori ini ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike berdasarkan eksperimen yang dilakukan tahun 1980-an. Melalui Eksperimen ini dapat disimpulkan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respon. Di sini ditemukan pula adanya 3 hukum yang berlaku dalam proses belajar yaitu law of effect, law of readiness dan law of exercise (Syah, 2003: 94).

  1. Classical Conditioning (Pembiasaan klasik)

Teori ini berkembang berdasarkan hasil ekspesimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936) seorang ilmuwan besar Rusia yang mendapatkan Nobel tahun 1909. Pada dasarnya teori ini merupakan sebuah prosedur penciptaan reflek baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya reflek. Hasil dari percobaan ini dapat diambil 2 kesimpulan hukum yaitu law of respondent conditioning dan law of respondent extinction (Syah, 2003: 97).

  1. Operant Conditioning (Pembiasaan Perilaku Respon)

Teori ini diciptakan oleh Burrhus Frederic Skinner (lahir tahun 1904) seorang penganut behaviorisme yang dianggap kontroversi. Respon dalam Operant Conditioning ini terjadi tanpa didahului stimulus melainkan ditimbulkan oleh efek reinforcer, merupakan stimulus namun kehadirannya tidak disengaja. Di sini menghasilkan 2 hukum yaitu law of operant conditioning dan law of operant extinction (Syah, 2003: 98)

  1. Contigous Conditioning ( Pembiasaan Asosiasi Dekat)

Teori ini mengasumsikan terjadinya peristiwa belajar berdasarkan kedekatan hubungan antara stimulus dan respons yang relevan. Hanya terdapat satu prinsip di dalamnya yaitu kontiguitas yang berarti kedekatan antara stimulus dan respons. Dalam teori ini menjelaskan bahwa peristiwa belajar hanya terjadi sekali bahkan bisa tidak sama sekali dalam seumur hidup. Jadi dalam teori ini semua bersifat mekanis dan otomatis(Syah, 2003: 101-102).

  1. Cognitive Theory (Teori Kognitif)

Teori ini adalah bagian terpenting dari sains kognitif yang memberi kontribusi sangat berarti dalam perkembangan psikologi belajar. Di sini belajar pada asasnya adalah peristiwa mental bukan bersifat jasmaniah meskipun behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa. Menurut teori ini perilaku belajar bukan sekedar peristiwa ikatan antara stimulus dan respons melainkan lebih banyak melibatkan proses kognitif (Syah, 2003: 103).

  1. Social Learning Theory (Teori Belajar Sosial)

Tokoh utama teori ini adalah Albert Bandura, menurutnya tingkah laku manusia bukan sekedar reflek otomatis antara stimulus melainkan akibat reaksi yang timbul dari hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri. Dalam teori ini menekankan pada belajar sosial dan moral. Pendekatannya pada pembiasaan merespon atau conditioning dan peniruan atau imitation. Conditioning mengenal adanya dua hal yaitu reward dan punishment, serta dalam imitation diharapkan guru dan orang tua memainkan peran menjadi contoh perilaku sosial dan moral (Syah, 2003: 106).

2.2 Sumber Belajar

            Wina Sanjaya (2006: 172) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan oleh siswa untuk mempelajari bahan dan pengalaman belajar sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Menurut pandangan Sanjaya ini, bahwa apapun yang ada di sekitar peserta didik yang dapat menunjang proses belajar dan memberikan implikasi terhadap perubahan pada peserta didik dapat disebut sebagai sumber belajar. Pernyataan Sanjaya ini diperkuat oleh  gagasan dari Harjali (2011: 121) yang mendefinisikan Sumber belajar sebagai segala sesuatu yang ada di sekitar lingkungan kegiatan belajar yang secara fungsional dapat digunakan untuk membantu optimalisasi hasil belajar. Optimalisasi hasil belajar ini dapat dilihat tidak hanya dari hasil belajar namun dilihat dari proses berupa interaksi siswa dengan berbagai macam sumber yang dapat merangsang untuk belajar dan mempercepat pemahaman dan penguasaan bidang ilmu yang di pelajari.

            Sumber belajar dalam pengertian sempit adalah, misalnya buku-buku atau bahan-bahan tercetak lainnya. Pengertian itu masih banyak dipakai oleh sebagian besar guru dewasa ini. Misalnya dalam program pengajaran yang biasa disusun oleh para guru terdapat komponen sumber belajar, dan pada umumnya akan diisi dengan buku teks atau buku wajib yang dianjurkan. Pengertian sumber belajar menurut Sadiman (1989) adalah segala macam yang ada di luar diri seseorang (peserta didik) dan yang memungkinkan/memudahkan terjadinya proses belajar. Seperti yang dikemukakan Sudjana (2007) bahwa sumber belajar merupakan suatu sistem atau perangkat materi yang sengaja disiapkan atau diciptakan dengan maksud memungkinkan atau memberi kesempatan siswa untuk belajar. Sedangkan menurut Mulyasa (2002:48) pengertian sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat memberikan kemudahan kepada peserta didik dalam memperoleh sejumlah informasi, pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan, dalam proses belajar mengajar. Jadi yang dimaksud sumber belajar adalah segala sesuatu baik yang ada diluar diri peserta didik berupa perangkat materi yang sengaja diciptakan dengan maksud untuk memberikan kesempatan dan kemudahan kepada peserta didik dalam memperoleh sejumlah informasi, pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan, dalam proses belajar mengajar.

2.2.1. Jenis-jenis Sumber Belajar

Jika sumber belajar diklasifikasikan menurut jenis sumber belajarnya, maka akan tersusun sebagai berikut:

  1. Pesan (message)

Pesan adalah informasi pelajaran yang akan disampaikan yang dapat berupa ide, fakta, ajaran, nilai, dan data. Dalam sistem persekolahan, pesan ini berupa seluruh mata pelajaran yang akan disampaikan pada peserta didik (Warsito, 2008: 209).

Pesan merupakan sumber belajar yang meliputi pesan formal yaitu pesan yang dikeluarkan oleh lembaga resmi, seperti pemerintah tau pesan yang disampaikan guru dalam situasi pembelajaran. Pesan-pesan ini selain disampaikan secara lisan juga dibuat dalam bentuk dokumen misalnya silabus, peraturan pemerintah, kurikulum. Pesan nonformal yaitu pesan yang ada di lingkungan masyarakat luas yang dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran misalnya cerita rakyat, legenda, prasati, kitab-kitab kuno dan peninggalan sejarah lainnya.

  1. Manusia (people)

Orang adalah manusia yang berperan sebagai penyimpan, dan penyaji pesan.  Orang pada dasarnya dapat berperan sebagai sumber belajar, namun secara umum dapat dibagi dua kelompok. Pertama, kelompok orang yang didesain khusus sebagai sumber belajar utama yang dididik secara profesional untuk  mengajar esperti Guru, instruktur, widyaswara. Kelompok yang kedua adalah orang yang memiliki profesi selain tenaga yang berada di lingkungan  pendidikan dan profesinya tidak terbatas. Misalnya politis, tenaga nkesehatan ,pertanian , arsitek, psikolog, lawyer, politis penguasa dan lain-lain.

  1. Bahan (Matterialis)

Bahan adalah perangkat lunak yang mengandung pesan-pesan pembelajaran yang biasanya disajikan melalui peralatan tertentu ataupun dirinya sendiri. Bahan merupakan suatu format yang di gunaka untuk menyimpan pesan pembelajaran, seperti buku paket, buku teks,  modul, program video, film, OHT (over head transparency), program slide alat peraga dan sebagainya (biasa disebut software).

  1. Alat (device)

Alat yang dimaksud disini adalah benda-benda yang berbentuk fisik sering juga disebut perangkat keras (hardware). Alat ini berfungsi untuk menyajikan bahan-bahan pada butir 3 di atas. Di dalam mencakup multimedia projector, slide projector, OHP, film, tape recorder, opaqe projector, dan sebagainya.

  1. Teknik

Teknik adalah prosedur atau langkah-langkah tertentu yang disiapkan dalam menggunakan bahan, alat, lingkungan dan orang untuk menyampaikan pesan.Teknik ini digunakan di gunakan orang dalam memberikan pembelajaran guna tercapai tujuan pembelajaran. Di dalam  mencangkup ceramah, permainan/simulasi, tanya jawab, sosiodrama, dan sebagainya.

  1. Latar atau lingkungan

Latar atau lingkungan yang berada di dalam sekolah maupun lingkungan yang berada di luar sekolah, baik yang sengaja dirancang maupun yang tidak secara khusus disiapkan untuk pembelajaran. Termasuk di dalamnya adalah pengaturan ruangan, pencahayaan, ruang kelas, perpustakaan, laboratorium, tempat workshop, halaman sekolah, kebun sekolah, lapangan sekolah, dan sebagainya.

Untuk pembelajaran dengan menjadi sarana di luar kelas menjadi sumber belajar sesungguhnya juga sangat efektif bagi pemahaman siswa. Salah satu kegiatan tersebut adalah karya wisata.  Teknik karya wisaya ini ialah cara mengajar yang dilaksanakan dengan mengajak siswa ke suatu tempat atau obyek tertentu di luar sekolah untuk mempelajari/menyelidiki sesuatu. Roestyasih (2001: 85-86) menyampaikan bahwa dengan melaksanakan karya wisata diharapkan siswa dapat memperoleh pengalaman langsung dari obyek yang dilihatnya; dapat turut menghayati tugas pekerjaan milik seseorang, serta dapat bertanya jawab mungkun dengan jalan demikian mereka mampu memecahkan persoalan yang dihadapinya dalam pelajaran ataupun pengetahuan umum.

Sumber belajar yang diuraikan di atas, merupakan komponen-komponen yang dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran. Secara khusus untuk kategori bahan (matterials) dan alat (device) yang kita kenal sebagai software dan hardware tak lain adalah media pendidikan. Menurut Sudjarwo (1989:159), makin banyak sumber belajar yang dimanfaatkan makin lengkap dan makin sesuai dengan masing- masing komponen sistem intruksional, dan makin menyatu dengan komponen-komponen tersebut, maka hasil belajar yang diperoleh makin baik. 

2.3 Budaya Belajar

            Menurut Rusyan (2007: 12) budaya belajar merupakan serangkaian kegiatan dalam melaksanakan tugas belajar yang dilakukan. Kita menjadikan belajar sebagai kebiasaan, dimana jika kebiasaan itu tidak dilaksanakan, berarti melanggar suatu nilai atau patokan yang ada, dan menjadikan belajar sebagai kegemaran dan kesenangan, sehingga motivasi belajar muncul dari dalam diri kita sendiri, yang akhirnya produktifitas belajar meningkat.

            Menurut ajaran Rousseau dalam Dalyono (2001: 106), “Manusia itu pada dasarnya baik, ia jadi buruk dan jahat karena pengaruh kebudayaan.” Namun, pengaruh budaya yang lebih fatal terjadi apabila sebagian besar masyarakat mengalami keterbelakangan budaya. Tirtarahardja (2000: 246) menggambarkan bahwa keterbelakangan budaya terjadi akibat dari sekelompok masyarakat yang tidak mau mengubah cara dan kebiasaan yang selama ini mengganggap dirinya sudah maju. Pada kelompok ini mereka tidak mau menerima segala macam pembaharuan dan tidak mau mengubah tradisi yang selama ini sudah diyakini kebenarannya.

Menurut Koentjaraningrat (1990: 147), “faktor budaya berkaitan dengan kultur masyarakat yang berupa persepsi/pandangan, adat istiadat, dan kebiasaan.” Peserta didik selalu melakukan kontak dengan masyarakat. Pengaruh-pengaruh budaya yang negatif dan salah terhadap dunia pendidikan akan turut berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan anak. Peserta didik yang bergaul dengan teman-temannya yang tidak sekolah atau putus sekolah akan terpengaruh dengan mereka. Dalam hal ini Slameto (2003: 73) berpendapat, “Banyak siswa gagal belajar akibat karena mereka tidak mempunyai budaya belajar yang baik. Mereka kebanyakan hanya menghafal pelajaran.”

Pendapat tersebut dipertegas pula oleh William H. Burton dalam Hamalik (2004: 26) yang temasuk dalam salah satu prinsip belajar, yaitu: “Proses belajar terutama terdiri dari berbuat hal-hal yang harus dipelajari di samping bermacam-macam hal lain yang ikut membantu proses belajar itu.”

Berdasarkan beberapa pendapat di atas secara implisit menyatakan bahwa budaya belajar siswa mempunyai keterkaitan dengan prestasi belajar, sebab dalam budaya belajar mengandung kebiasaan belajar dan cara-cara belajar yang dianut oleh siswa. Pada umumnya setiap orang (siswa) bertindak berdasarkan force of habit (menurut kebiasaannya) sekalipun ia tahu, bahwa ada cara lain yang mungkin lebih menguntungkan.

Sehubungan dengan hal itu, budaya belajar siswa akan menjadi tradisi yang dianut oleh siswa. Tradisi tersebut akan selalu melekat di dalam setiap tindakan dan perilaku siswa sehari-hari baik di sekolah, di rumah maupun di lingkungan masyarakat. Misalnya tradisi dalam memanfaatkan waktu belajar, disiplin dalam belajar, kegigihan/keuletan dalam belajar, dan konsisten dalam menerapkan cara belajar efektif.

2.3.1 Budaya Belajar Berdasarkan Perubahan Kebudayaan Manusia

  1. Akulturasi Budaya Belajar

Istilah akulturasi baru dapat dikemukakan pada tahun 1934 oleh sebuah lembaga penelitian Ilmu Sosial Internasional. Adapun anggotanya yang terkenal seperti Redfield, Linton, dan Herskovits, yang merumuskan definisi tentang akulturasi meliputi sebuah fenomena yang timbul sebagai akibat adanya kontak secara langsung dan terus menerus antara kelompok-kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda, sehingga menimbulkan adanya perubahan kebudayaan yang asli dari kedua masyarakat bersangkutan.

Akulturasi budaya belajar dapat terwujud melalui budaya yang bentuknya bermacam-macam, antara lain:

  • Kontak budaya belajar bisa terjadi antar seluruh anggota masyarakat atau sebagian saja, bahkan hanya individu-individu dari dua masyarakat. Misalnya kontak budaya dalam bidang keagamaan.
  • Kontak budaya belajar berjalan melalui perdamaian diantara dua kelompok masyarakat yang bersahabat, maupun melalui cara permusuhan antar kelompok. Contohnya antara bangsa Indonesia dengan Malaysia yang kebanyakan penduduknya masih satu rumpun bangsa.
  • kontak budaya belajar dapat timbul diantara masyarakat yang mempuyai kekuasaan baik dalam politik maupun ekonomi.

  1. Asimilasi Budaya Belajar

            Asimilasi dapat dipandang sebagai proses sosial yang ditandai dengan makin bergantungnya perbedaan-perbedaan antar individu dan antar kelompok serta dengan semakin eratnya persatuan dalam segi aktivitas. Asimilasi berkaiatan dengan sikap dan proses mental yang berhubungan dengan tujuan dan kepentingan bersama. Asimilasi budaya belajar pada dasarnya proses saling mempelajari pola budaya belajar antar individu dan kelompok sehingga dapat mengembangkan budaya belajar masing-masing.

Proses asimilasi budaya belajar dapat berjalan dengan cepat ataupun lambat bergantung pada beberpa faktor:[3]

  • Adanya toleransi yang memadai antar dua individu atau kelompok masyarakat memiliki perbedaan-perbedaan.
  • Adanya faktor ekonomi yang menjadi kemungkinan akan memperlancar atau memperlambat jalannya asimilasi budaya belajar.
  • Adanya faktor kesan yang baik atau rasa simpatik pada saat mengadakan kontak budaya belajar pada awalnya.
  • Adanya faktor perkawinan campuran menjadi faktor yang kuat untuk terwujudnya suatu asimilasi budaya belajar.
  1. Inovasi Budaya Belajar

            Konsep inovasi dibedakan dalam dua term, yaitu discoveri dan invention. Keduanya memiliki orientasi yang sama namun memiliki perbedaan. Lebih tegasnya Persudi Suparlan (1984: 182) menyatakan discoveri adalah suatu penemuan baru yang berupa persepsi mengenai hakikat suatu gejala atau hakikat mengenai hubungan antara dua gejala atau hakikat mengenai hubungan antara dua gejala/lebih. Sedangkan inventation adalah ciptaan baru yang berupa benda/ pengetahuan yang diperoleh melalui proses pencintaan yang didasarkan atas pengkombinasian danpengetahuan-pengetahuan yang sudah ada mengenai benda atau lainnya.

Individu atau kelompok sosial akan berkesesuaian dengan motivasi untuk mengadakan pembaharuan dalam budaya belajarnya bilamana didukung oleh faktor-faktor sebagai berikut:

  • Adanya kesadaran dari para Individu akan adanya kelemahan pola budaya belajar selam ini dianutnya.
  • Adanya mutu dan keahlian para individu yang bersangkutan dalam mendorong terjadinya penemuan budaya belajar yang baru.
  • Adanya sistem perangsang dalam masyarakat yang mendorong adanya mutu budaya belajar dalam bentuk penghargaan khalayak mengenai temuannya.
  • Adanya suasana krisis yang berlangsung dalam masyarakat bersangkutan.
  1. Difusi Budaya Belajar

Difusi budaya belajar dipandang sebagai proses penyebaran dari suatu budaya belajar individu ke individu lainnya atau intra-masyarakat atau dari masyarakat ke masyarakat lainnya atau difusi inter-masyarakat, nilai suatu budaya belajar baru diterima oleh masyarakat karena bekesesuaian dengan sistem gagasan, kebiasaan serta emosi-emosinya maka budaya belajar akan menjadi gejala universal. Sebaliknya budaya belajarbaru yang ketika disebarkan hanya didukung oleh sebagaian masyarakat saja disebut alternative. Sedangkan bila pendukung budaya belajar hanya sebagian kecil disebut spesialis. Manakala sistem gagasan, tingkahlaku dan sikap budaya belajar baru hanya muncul pada perorangan saja maka disebut particular individu.

Proses peniruan budaya belajar disebut imitasi. Dikalangan para inovasi budaya belajar gejala peniruan bisa dilakukan, manakala mereka dihadapkan pada suatu masalah untuk segera memecahkan masalah dilingkungannya. Gejala peniruan ini bisa berbentuk trial and error artinya mencoba-coba, bisa benar bisa juga salah. Salah satu prinsip difusi budaya belajar adalah jika terjadi mula pertama menyebar atau diidentifikasi oleh kelompok masyarakat yang letaknya dan hubungannya paling dekat dengan sumber perubahan budaya belajar. Prinsip lainnya berkenaan dengan marginal servival, yakni jauh unsur kebudayaan yang disebarkan itu dari pusatnya maka sifat kebudayaan itu semakin kabuar atau dengan kata lain unsur kebudayaan yang tersebar itu telah mengalami perubahan baik dari bentuknya maupun isinya.

2.4 Potensi Sekolah

            Potensi merupakan hal mutlak yang harus dimiliki oleh seorang setiap sekolah. Dengan adanya potensi di sekolah, guru akan memperoleh kemudahan dalam mengembangkan potensi siswa yang dikaitkan dengan potensi sekolah. Sekolah yang memiliki potensi bagus akan menghasilkan lulusan yang memiliki potensi yang kemudian dikembangkan secara lebih maksimal guna meningkatkan potensi sumber daya manusia/pelajar.

2.4.1 Definisi Potensi Sekolah

            Potensi sekolah secara harfiah terdiri dari dua kata yaitu potensi dan sekolah. Potensi sendiri memiliki definisi sebagai berikut sesuai dengan yang tertuang dalam http://djangkrigdjoloendo.blogspot.co.id/2012/03/potensi-dan-karakteristik-tingkahlaku.html, bahwa Potensi siswa yang dimaksud dalam rambu-rambu ini adalah kapasitas atau kemampuan dan karakteristik/sifat individu yang berhubungan dengan sumber daya manusia yang memiliki kemungkinan dikembangkan dan atau menunjang pengembangan potensi lain. Potensi itu meliputi potensi fisik, intelektual, kepribadian, minat, potensi moral dan religius.

  1. Potensi Fisik

Kondisi kesehatan fisik dan keberfungsian anggota tubuh diperoleh melalui pemeriksaan medis yang dilakukan oleh tenaga medis dan  observasi perilaku dalam mengikuti aktivitas pembelajaran oleh guru.

  1. Potensi Intelektual.

Potensi intelektual terbagi dua kelompok, yaitu:

  • Prestasi Akademik.
  • Kecerdasan Umum

Kecerdasan umum meliputi hal-hal

  • kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan tepat.
  • memecahkan masalah;
  • menciptakan produk di lingkungan yang kondusif dan alamiah;
  • kecenderungan untuk menetapkan dan mempertahankan tujuan tertentu; dan
  • kemampuan mengkritik diri sendiri.
  1. Kemampuan Khusus / Bakat

            Kemampuan khusus atau bakat meliputi

  • Kemampuan verbal-kebahasaan
  • Kemampuan logis-matematis
  • Kemampuan seni
  • Kemampuan tilikan ruang
  • Kemampuan badaniah-kinestetik
  • Kemampuan musik
  • Kemampuan antarpibadi
  • Kemampuan kealaman
  1. Kreativitas

            Kreativitas meliputi beberapa hal

  • memiliki dorongan ingin tahu yang besar
  • sering mengajukan pertanyaan
  • memiliki banyak gagasan
  • bebas dalam menyatakan pendapat
  • memiliki rasa keindahan
  • menonjol dalam salah satu bidang seni
  • memiliki pendapat sendiri dan mampu mengungkapkannya
  • memiliki rasa humor tinggi
  • daya imajinasi yang kuat
  • orisinalitas
  • dapat bekerja sendiri
  • senang mencoba hal-hal baru
  • mampu mengembangkan dan memerinci gagasan
  1. Kepribadian

            Sedangkan kepribadian meliputi hal:

  • kemampuan mengelola emosi,
  • Kemampuan mengembangkan dan menjaga motivasi belajar / berprestasi,
  • Kepemimpinan,
  • Kemampuan menyesuaikan diri,
  • Kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi,
  • Responsibilitas,
  • Orientasi nilai, moral dan religi,
  • Kecenderungan kebutuhan,
  • Sikap,
  • Kebiasaan, dan sebagainya.

Sedangkan untuk sekolah, berdasarkan KBBI Online (http://kbbi.web.id/sekolah) sekolah didefinisikan sebagai: 1) bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran (menurut tingkatannya, ada. Sedangkan menurut Abdullah Idi (2011: 142) Kata sekolah berasal dari bahasa latin, yakni skhole, scolae, skhoe atau scolae yang memiliki arti waktu luang atau waktu senggang, dimana ketika itu sekolah adalah kegiatan diwaktu luang bagi anak-anak ditengah kegiatan mereka, yakni bermain dan menghabiskan waktu menikmati masa anak-anak dan remaja. Kegiatan dalam waktu luang adalah mempelajari cara berhitung, secara membaca huruf dan mengenal tentang moral (budi pekerti) dan estetika (seni). Untuk mendampingi dalam kegiatan sekolah anak-anak didampingi oleh orang ahli dan mengerti tentang psikologi anak, sehingga memeberikan kesempatan-kesempatan yang sebebsar-besarnya  kepada anak-anak untuk  menciptakan sendiri dunianya melalui berbagai pelajaran diatas.

Sedangkan menurut sunarto (1993) dalam Idi (2011: 142), dikatakan sekolah telah berubah berupa bangunan atau lembaga untuk belajar dan serta tempat memberi dan menerima pelajaran,. Sekolah dipimpin oleh seorang kepala sekolah, dan kepala sekolah dibantu oleh wakil kepala sekolah, jumlah kepala sekolah bisa berbeda pada tiap sekolahnya, tergantung dengan kebutuhan. Bangunan sekolah disusun meninggi untuk memenfaatkan tanah yang tersedia dan dapat diisi dengna fasilitas yang lain. Ketersediaan sarana pada suatu sekolah memiliki peranan penting dalam terlaksanakan proses pendidikan.

Jadi dari definisi tersebut dapat didefinisikan bahwa sekolah adalah sebuah lembaga yang dirancang untuk pengajaran siswa atau murid di bawah pengawasan pendidik (guru). sebagian besar negara memiliki sistem pendidikan formal, yang umumnya wajib, dalam upaya menciptakan anak didik agar mengalami kemajuan setelah melalui proses pembelajaran. Nama-nama sekolah ini bervariasi menurut negara, tetapi umumnya termasuk sekolah dasar untuk anak-anak muda dan sekolah menengah untuk remaja yang telah menyelesaikan sekolah dasar.

Berdasarkan definisi dari potensi dan sekolah yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan potensi sekolah adalah kapasitas atau kemampuan dan karakteristik yang berhubungan dengan sumber daya yang memiliki kemungkinan dikembangkan dan atau menunjang pengembangan potensi lain yang ada dalam sebuah lembaga untuk pengajaran para siswa.

2.4.2 Kaitan Potensi Sekolah dengan Bakat Siswa

            Menurut M. Ngalim Purwanto (2007: 25) dalam bukunya Psikologi Pendidikan disebutkan bahwa kata bakat lebih dekat pengertiannya dengan kata aptitude yang berarti kecakapan pembawaan, yaitu yang mengenai kesanggupan-kesanggupan (potensi-potensi) yang tertentu.

Sementara Woodworth dan Marquis dalam (Suryabrata, 2004: 161) memberikan definisi: “aptitude is predictable achievement and can be measured by specially devised test”. Bakat (aptitude), oleh Woodworth dan Marquis dimasukkan dalam kemampuan (ability). Menurutnya ability mempunyai tiga arti, yaitu:

  1. Achievement yang merupakan actual ability, yang dapat diukur langsung dengan alat atau tes tertentu.
  2. Capacity yang merupakan potential ability, yang dapat diukur secara tidak langsung dengan melalui pengukuran terhadap kecakapan individu, di mana kecakapan ini berkembang dengan perpaduan antara dasar dengan training yang intensif dan pengalaman.
  3. Aptitude, yaitu kualitas yang hanya dapat diungkap/diukur dengan tes khusus yang sengaja dibuat untuk itu.

Sementara Munandar (1999: 17) menyampaikan bahwa bakat (aptitude) pada umumnya diartikan sebagai kemampuan bawaan, sebagai potensi yang masih perlu dikembangkan dan dilatih agar terwujud. Jadi, berdasarkan ketiga definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan bakat adalah suatu kemampuan yang dimiliki oleh seseorang yang menjadi potensi pada dirinya dan sudah ada secara alamiah sedari orang tersebut lahir.

            Ketika bakat sudah menjadi potensi bagi seorang siswa, hal ini akan menjadi sesuatu yang sangat masive bagi pengembangan potensi sekolah. Hal ini dikarenakan potensi sekolah akan semakin terlihat ketika mampu menciptakan lulusan yang unggul serta bisa berdaya saing. Disamping itu, potensi sekolah biasanya dapat dikatakan dikembangkan secara optimal ketika sekolah mampu mengantarkan siswanya meraih sejumlah prestasi.

            Sesungguhnya semua Lembaga sekolah berpotensi besar untuk menciptakan siswa berprestasi di tingkat lokal, regional, nasional dan bahkan tingkat Internasional. Persoalannya adalah sejauhmana kemauan pihak sekolah untuk melakukan pengembangan potensi tersebut. Tidak dapat dipungkiri banyak sekolah mengedepankan aspek akademis untuk mengharumkan nama sekolah. Ikon sekolah tersebut bertumpu pada pencapaian kegiatan intrakurikuler. Tujuan sekolah lebih terfokus pada pencapaian target kurikulum dan hasil ujian nasional. Hal tersebut dapat diterima karena berkemungkinan sarana penunjang kegiatan ekstrakurikuler kurang memadai. Tentu hal ini sangat disayangkan jika di sekolah tersebut bersarang sejumlah siswa yang berbakat dan berpotensi di bidang olah raga prestasi. Kegiatan ekstrakurikuler termasuk salah satu ajang penjaringan calon olahragawan berprestasi. Kegiatan penunjang ini terdiri dari beberapa jenis kegiatan yang umumnya di dominasi bidang olah raga popular seperti; volleyball, tenis meja, sepak takraw, basket ball, catur, bulu tangkis, dll. Guru olah raga berperan penting dalam membantu pengembangan siswa berbakat dalam olah raga tertentu di sekolah. Dukungan pimpinan sekolah sangat penting untuk merekomendasikan berbagai ajang pertandingan, baik pertandingan antar kelas ( classmeeting), antar sekolah maupun mengirim siswa berpotensi untuk mengikuti pertandingan olah raga. Yang tak kalah pentingnya adalah peran orang tua dalam mendorong anak berprestasi dalam bidang olah raga. Kerja sama pihak sekolah, orang tua dan instansi terkait diyakini akan dapat melahirkan olahragawan berprestasi.

            Pandangan mengenai potensi sekolah tidaklah sempit hanya sebatas pada potensi akademis, karena indikator potensi dapat berkembang adalah adanya prestasi yang dicapai. Olehnya sekolah harus membuka diri dan mau mengembangkan segala potensi yang memungkinkan, sehingga dengan demikian siswa menjadi bersemangat dan sekolah mampu memproleh kebanggaan. Walaupun pada kenyataan suatu sekolah memang memiliki keunggulan tertentu yang menjadi potensinya jika dibandingkan dari sekolah lainnya. sebagai sebuah contoh, SMKN 3 Sukawati yang membuka jurusan seni memiliki potensi yang amat luar biasa dalam bidang seni, sehingga tidak salah ketika banyak siswanya meraih prestasi dalam bidang tersebut. Lain halnya dengan SMAN 1 Ubud yang berada di daerah pariwisata, sekolah tersebut mempunya potensi dalam bidang akademis, terutama penguasaan bahasa asing. Olehnya banyak prestasi dalam bidang tersebut diraih sekolah sebagai unggulan.

            Dan tentunya, potensi sekolah tidak akan mampu terus berkembang dengan baik apabila tidak didukung oleh para siswanya, olehnya bakat yang dimiliki oleh siswa seakan menjadi peluru bagi sekolah untuk mencapai visi yang telah dicanangkan sebelumnya. Hanya sekarang bagaimana kemampuan sekolah mengasah bakat siswa sehingga bakat tersebut akan menjadi semakin menonjol dan membuktikan betapa besar potensi sekolah dalam menciptakan siswa berprestasi. Hal ini tentunya senada dengan pernyataan Munandar (1999: 18) bahwa prestasi merupakan perwujudan dari bakat dan kemampuan. Prestasi yang menonjol dalam salah satu bidang menunjukkan bakat yang unggul dalam bidang tersebut.

 

2.5 Belajar Berbasis Masalah

            Bern dan Erickson dalam Komalasari (2013: 59) menegaskan bahwa pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning) merupakan strategi pembelajaran yang melibatkan siswa dalam memecahkan masalah dengan mengintegrasikan berbagai konsep dan keterampilan dari berbagai disiplin ilmu. Strategi ini meliputi mengumpulkan informasi, dan mempresentasikan penemuan.

            Dalam penerapan Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah (SPBM). Dalam penerapan strategi ini guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menetapkan topik masalah, walaupun sebenarnya guru sudah mempersiapkan agar siswa mampu menyelesaikan maslah secara sistematis dan logis.

Dilihat dari aspek psikologi belajar SPMB bersandarkan kepada psikologi kognitif yang berangkat dari asumsi bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman. Belajar bukan semata-mata proses menghafal sejumlah fakta, tetapi suatu proses interaksi secara sadar antara individu dengan lingkungannya. Melalui proses ini sedikit demi sedikit siswa akan berkembang secara utuh. Artinya, perkembangan siswa tidak hanya terjadi pada aspek kognitif, tetapi juga aspek afektif dan psikomotor melalui pernghayatan secara internal akan problema yang dihadapi.

Di lihat dari aspek fisilofis tentang fungsi sekolah sebagai arena atau wadah untuk mempersipakan anak didik agar dapat hidup di masyarakat, maka SPBM merupakan strategi yang memungkinkan dan sangat penting unuk dikembangkan. Hal ini sebabkan pada kenyataannya manusia akan dihadapkan kepada masalah. SPBM inilah diharapkan dapat memberikan latihan dan kemampuan setiap individu untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya (Sanjaya, 2006).

Dilihat dari konteks perbaikan kualitas pendidikan, maka SPBM merupakan salah satu strategi pembelajaran yang dapat digunakan untuk memperbaiki sistem pembelajaran. Kita menyadari selama ini kemampuan siswa untuk dapat menyelesaikan masalah kurang diperhatikan oleh setiap guru. Akibatnya, manakala siswa menghadapi masalah, walaupun masalah itu dianggap sepele, banyak siswa yang tidak dapat menyelesaikannya dengan baik.

SPBM dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah. Terdapat 3 ciri utama dari SPBM. Pertama, SPBM merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, artinya dalam implementasi SPBM ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa. SPBM tidak diharapkan siswa hanya sekedar mendengarkan, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran, akan tetapi melalui SPBM siswa aktif berfikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data dan akhirnya menyimpulkan. Kedua, aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. SPBM menempatkan masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajran. Artinya tanpa masalah maka tidak mungkin ada proses pembelajaran. Ketiga, peecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah. Berpikir dengan menggunakan metode ilmiah adalah proses berpikir deduktif dan induktif. Proses berpikir ini dilakukan secara sistematis dan empiris. Sistematis artinya berpikir ilmiah dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu, sedangkan empiris artinya proses penyelesaian masalah didasrkan pada data dan fakta yang jelas (Sanjaya, 2006).

Untuk mengimplementasikan SPBM, guru perlu memilih bahan pelajaran yang memiliki permasalahan yang dapat dipecahkan. Permasalahan tersebut bisa diambil dari buku teks atau dari sumber-sumber lain misalnya dari peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar, dari peristiwa dalam keluarga atau dari peristiwa kemasyarakatan.

Strategi pembelajaran dengan pemecahan masalah dapat diterapkan sebagai berikut:

  1. Manakala guru menginginkan agar siswa tidak hanya sekedar dapat mengingat materi pelajaran, akan tetapi menguasai dan memahaminya secara penuh.
  2. Apabila guru bermaksud untuk mengembangkan keterampilan berpikir rasional siswa, yaitu kemampuan menganalisi situasi, menerapkan pengetahuan yang mereka miliki dan situasi baru, mengenal adanya perbedaan antara fakta dan pendapat, serta mengembangkan kemampuan dalam membuat judgment secara objektif.
  3. Manakala guru menginginkan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah serta membuat tantangan intelektual siswa.
  4. Jika guru ingin mendorong siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajarnya.
  5. Jika guru ingin siswa memahami hubungan antara apa yang dipelajari dengan kenyataan dalam kehidupannya (hubungan antar teori dengan kenyataan) (Sanjaya, 2006).

2.5.1 Hakikat Masalah dalam Belajar Berbasis Masalah

Antara strategi pembelajaran inkuiri (SPI) dan strategi pembelajaran berbasis masalah (SPBM) memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut terletak pada jenis masalah serta tujuan yang ingin dicapai. Berbeda dengan SPI, masalah dalam SPBM adalah masalah yang bersifat terbuka. Artinya jawaban dari masalah tersebut belum pasti. Setiap siswa bahkan guru dapat mengembangkan kemungkinan jawaban. Dengan demikian, SPBM memberikan kesempatan kepada siswa untuk berekplorasi mengumpulkan dan menganalisis data secara lengkap untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Tujuan yang ingin dicapai oleh SPBM adalah kemampuan siswa untuk berpikir kritis, analitis, sistematis dan logis untuk menemukan alternatif pemecahan masalah melalui eksplorasi data secara empiris dalam rangka menumbuhkan sikap ilmiah.

Hakikat masalah dalam SPBM adalah gap atau kesenjangan antara situasi nyata dan kondisi yang diharapkan, atau antar kenyataan yang terjadi dengan apa yang diharapkan. Kesenjangan tersebut bisa dirasakan dari adanya keresahan, keluhan dan kerisauan atau kecemasan. Oleh karena itu, maka materi pelajaran atau topik tidak terbatas pada materi pelajaran yang bersumber dari buku saja, akan tetapi juga dapat juga bersumber dari peristiwa-peristiwa tertentu sesuai denagn kurikulum yang berlaku. Dibawah ini diberikan kriteria pemilihan bahan pelajaran SPBM:

  1. Bahan pelajaran harus mengandung isu-isu yang mengandung konflik (conflict issue) yang bisa bersumber dari berita, rekaman video, dan yang lainnya.
  2. Bahan yang dipilih adalah bahan yang bersifat familiar (akrab) dengan siswa, sehingga setiap siswa dapat mengikutinya dengan baik.
  3. Bahan yang dipilih merupakan bahan yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak (universal), sehingga terasa manfaatnya.
  4. Bahan yang dipilih merupakan bahan yang mendukung tujuan atau kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa sesuai dengan kurikulum berlaku.
  5. Bahan yang dipilih sesuai dengan minat siswa sehingga setiap siswa merasa perlu untuk mempelajarinya.

2.5.2 Keunggulan dan Kelemahan Belajar Berbasis Masalah

            Setiap strategi ataupun metode yang diterapkan dalam proses pembelajaran di lingkungan pendidikan selalu memiliki keunggulan dan kelemahan, tidak terkecuali Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah (SPBM) ini. oleh Wina Sanjaya (2011) dipaparkan sebagai berikut:

  1. Keunggulan

Sebagai suatu strategi pembelajaran, SPBM memiliki beberapa keunggulan diantaranya.

  • Pemecahan masalah (problem solving) merupaka teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.
  • Pemecahan masalah (problem solving) dapat menantang kemampuan siswa serta dapat memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa.
  • Pemecahan masalah (problem solving) dapat meningkatkan aktifitas pembelajaran siswa.
  • Pemecahan masalah (problem solving) dapat membantu siswa bagaiman mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan masalah.
  • Pemecahan masalah (problem solving) dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggungjawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Disamping itu, pemecahan masalah itu juga dapat mendorong untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya.
  • Melalui pemecahan masalah (problem solving) bisa memperlihatkan kepada siswa bahwa setiap mata pelajaran (matematika,ipa, sejarah dan lain sebagainya) pada dasarnya merupakan cara berfikir, dan sesuatu yang harus dimengerti oleh siswa, bukan hanya sekedar belajar dari guru atau dari buku-buku saja.
  • Pemecahan masalah (problem solving) dianggap lebih menyenangkan dan disukai siswa.
  • Pemecahan masalah (problem solving) dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berfikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru.
  • Pemecahan masalah (problem solving) dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.
  • Pemecahan masalah (problem solving) dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir.
  1. Kelemahan
  • Mana kala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba.
  • Keberhasilan strategi pembelajaran melalui problem solving membutuhkan cukup waktu untuk persiapan.
  • Tanpa pemahaman maka mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.

2.5.3 Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah

            Untuk Memproleh gambaran dalam penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah, Sudarman (2007) menguraikannya ke dalam sintaks berikut:

Tahap Tingkah Laku guru
Tahap-1

Orientasi peserta didik padamasalah

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi peserta didik untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih.
Tahap-2

Mengorganisasi peserta didik untuk belajar

Guru membantupeserta didik untuk mendefinisikan dan mengorganisasi tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut
Tahap-3

Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok

Guru mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
Tahap-4

Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

Guru membantu peserta didik dalam merencanakan dan menyiapkankarya yang sesuai seperti laporan, video, dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
Tahap-5

Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Guru membantu peserta didik untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

            Dari makalah yang penulis selesaikan dapat dibuat beberapa kesimpulan sebagai inti dari pembahasan, yaitu sebagai berikut:

  1. Belajar merupakan suatu aktivitas yang menyebabkan terjadinya perubahan pada siswa baik dalam tingkah laku (sikap), kemampuan kognitif, kebiasaan, atau lainnya yang dilakukan dengan sengaja. Ketika suatu aktivitas sudah menyebabkan perubahan pada seseorang maka orang tersebut dapat dikatakan telah melalui proses belajar, baik itu dalam tataran positif maupun negatif. Adapun fase-fase dalam belajar adalah a. Tahap informasi (tahap penerimaan materi), b. Tahap transformasi (tahap pengubahan materi), dan c. Tahap evaluasi (tahap penilaian materi).
  2. Sumber belajar adalah segala sesuatu baik yang ada diluar diri peserta didik berupa perangkat materi yang sengaja diciptakan dengan maksud untuk memberikan kesempatan dan kemudahan kepada peserta didik dalam memperoleh sejumlah informasi, pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan, dalam proses belajar mengajar. Adapun beberapa klasifikasi sumber belajar adalah: Pesan (message), Manusia (people), Bahan (Matterialis), Alat (device), Teknik, dan Latar atau lingkungan.
  3. Budaya belajar siswa mempunyai keterkaitan dengan prestasi belajar, sebab dalam budaya belajar mengandung kebiasaan belajar dan cara-cara belajar yang dianut oleh siswa. Pada umumnya setiap orang (siswa) bertindak berdasarkan force of habit (menurut kebiasaannya) sekalipun ia tahu, bahwa ada cara lain yang mungkin lebih menguntungkan. Dan seiring dengan peubahan kebudayaan manusia, Budaya belajar mengalami beberapa proses, seperti: Akulturasi Budaya Belajar, Asimilasi Budaya Belajar, Inovasi Budaya Belajar, dan Difusi Budaya Belajar.
  4. Potensi sekolah adalah kapasitas atau kemampuan dan karakteristik yang berhubungan dengan sumber daya yang memiliki kemungkinan dikembangkan dan atau menunjang pengembangan potensi lain yang ada dalam sebuah lembaga untuk pengajaran para siswa. Pengembangan potensi yang ada di suatu sekolah akan sangat bergantung dengan bakat yang dimiliki oelh para siswanya. Bakat siswa yang mampu dikembangkan oleh para guru akan mampu mengantarkan siswa mencapai prestasi yang akan menjadi bukti bagusnya potensi sekolah tersebut.
  5. Pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning) merupakan strategi pembelajaran yang melibatkan siswa dalam memecahkan masalah dengan mengintegrasikan berbagai konsep dan keterampilan dari berbagai disiplin ilmu. Strategi ini meliputi mengumpulkan informasi, dan mempresentasikan penemuan. Adapun hakikat masalah dalam pembelajaran berbasis masalah adalah gap atau kesenjangan antara situasi nyata dan kondisi yang diharapkan, atau antar kenyataan yang terjadi dengan apa yang diharapkan.

 

3.2 Saran-saran

            Dengan melakukan kajian yang lebih mendalam terkait permasalahan yang diangkat dalam penyusunan makalah ini, dapat disampaikan beberapa saran, yaitu:

  1. Bagi para peserta didik agar selalu berupaya mengembangkan bakat dan potensi yang dimiliki sehingga mampu menjadikan potensi tersebut sebagai prestasi. Dan juga peserta didik sebagi subjek pendidikan hendaknya mengambil peran yang besar dalam upaya menciptakan budaya belajar di lingkungan sekolah.
  2. Bagi para pendidik agar senantiasa mengutamakan kebutuhan siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik nantinya mampu merasa nyaman dan ia secara perlahan dapat mengembangkan potensi dirinya. Pembelajaran berbasis masalah juga sangat bagus untuk diterapkan sehingga siswa tidak akan terbebani dengan pemahaman teori belaka, tetpi mereka diajak melihat langsung ilmu yang dipelajari dalam konteks keseharian. Disamping juga pendidik harus mampu menjadi pionir dalam mewujudkan budaya belajar di sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Dalyono. 2001. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Hamalik, Oemar. 2004. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Harjali. 2011.  Teknologi Pendidikan. Ponorogo: STAIN Po press.

http://djangkrigdjoloendo.blogspot.co.id/2012/03/potensi-dan-karakteristik-tingkahlaku.html

http://kbbi.web.id/sekolah

Idi, Abdullah. 2011. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rajagarafindo Persada

Koentjaraningrat. 1990. Bunga Rampai: Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Komalasari, Kokom. 2013. Pembelajaran Kontekstual konsep dan aplikasi. Bandung: Revika Aditama

Mulyasa. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Munandar, S.C Utami, 1999. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anka Sekolah. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia

Purwanto, M. Ngalim. 2007. Psikologi Pendidikan, Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Roestiyah, N K. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Rusyan, A. Tabrani dan Atang Kusdinar. 2007. Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sadiman, S Arif, dkk. 1980. Media Pendidikan. Jakarta: CV Rajawali.

Sai, Sathya. 2007.  Membina Anak-Anak. Surabaya: Paramita

Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Media Group

Sanjaya, Wina. 2008. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: PT Kencana Media Group

Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya.  Jakarta: Rineka Cipta.

Sudarman. 2007. Problem Based Learning : Suatu Model Pembelajaran Untuk Mengembangkan dan Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah. Jurnal Pendidikan Inovatif. Vol. 2 no. 2. PP. 68-73

Sudharta, Tjok. Rai. 2009. Sarasamuccaya Smerti Nusantara. Surabaya: Paramita

Sudjana, Nana dkk. 2007. Teknologi Pengajaran. Bandung: Sinar Baru.

Sudjarwo. 1989. Beberapa Aspek Pengembangan Sumber Belajar. Jakarta: MSP

Suparlan, Parsudi. 1984. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan. Jakarta: Rajawali

Suryabrata, Sumadi. 2004. Psikologi Pendidikan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Tirtarahardja, dan La Sula. 2000. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Warsito, Bambang. 2008. Teknologi Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta

Wlodkowski, Raymond J dan Judith H. Jaynes. 2004. Hasrat untuk Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset