UJIAN AKHIR SEMESTER

FILSAFAT ILMU

 

logo ihdn

 

DOSEN: PROF. DR. DRS. I NENGAH DUIJA, M.SI

OLEH

NAMA            : I WAYAN RUDIARTA

NIM                : 16.1.2.5.2.0916

KELAS           : A

ABSEN : 04

JURUSAN      : DHARMA ACARYA

 

KEMENTERIAN AGAMA

PROGRAM PASCA SARJANA

INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI

DENPASAR

2017


Narasi/Teks

Radikalisme dan Pancasila

Filsuf Chantal Mouffe menuduh demokrasi liberal yang mengutamakan diskusi dan bukan kontestasi sebagai biang keladi sektarianisme. Kebangkitan politik kanan ditengarai Mouffe sebagai akibat ketidak memadaian demokrasi liberal melahirkan kaum demokrat sebagai identitas kolektif. Demokrasi liberal tidak dapat menjawab pertanyaan tentang bagaimana kaum demokrat sebagai identitas kolektif diciptakan sebagai lawan sepadan bagi identitas sectarian. Kegagapan demokrasi liberal menjelaskan pembentukan kaum demokrat disebabkan kebutaannya terhadap politik sebagai antagonisme. Demokrasi liberal tidak mampu menangkap kodrat prulalistik sebuah realitas sosial dan konflik yang mengikutinya. Individualisme yang menjadi acuan antropologis demokrasi liberal sulit mencerna watak kolektif sebuah konflik. Konflik tidak terjadi antar individu akibat perbedaan keinginan, tetapi antar identitas kolektif. Politik adalah perkara pembentukan “kami” di hadapan “mereka”. Dia adalah arena bagi keputusan dan bukan kesepakatan. Politik adalah keputusan eksistensial tentang siapa “kami” dan siapa “mereka”, “kami juga tidak dapat sepenuhnya tersusun. Tanpa pemahaman siapa itu siapa itu “kelompok fundamental”, “kelompok moderat” tidak dapat menjelaskan dirinya. “mereka” adalah yang mempertanyakan identitas “kami” dan mengancam eksistensinya. Politik berlangsung ketika “kelompok moderat”  berhadapan secara frontal dengan “kelompok fundamental”. (Donny Gahral Adian, Kompas Sabtu 14 Januari 2017).

  1. Apakah Ontology, Epistemology, dan Aksiologi narasi yang berjudul Radikalisme dan Pancasila di atas?

Jawaban:

  1. Ontologi

Ontologi memiliki pengertian yang berbeda-beda, definisi ontologi berdasarkan bahasa berasal dari bahasa Yunani, yaitu On (Ontos) merupakan ada dan logos merupakan ilmu sehingga ontologi merupakan ilmu yang mengenai yang ada. Ontologi menurut istilah merupakan ilmu yang membahas hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality, baik berbentuk jasmani/konkret maupun rohani abstrak (Bakhtiar dalam Suaedi, 2016: 81). Sementara menurut Kuntjojo (2009: 5) bahwa Ontologi merupakan cabang dari metafisika yang membicarakan eksistensi dan ragam-ragam dari suatu kenyataan. Sehingga dari dua definisi tersebut, ontologi dapat dimaknai sebagai hakikat dari sesuatu yang dikaji, dan bidang telaah metafisika akan menjadi pijakan dari setiap pemikiran filsafat termasuk pemikiran ilmiah.

Dalam narasi/teks yang berjudul “Radikalisme dan Pancasila” ontology-nya adalah “Demokrasi liberal”. Pemikiran saya sehingga menetapkan pernyataan tersebut sebagai ontologi narasi/teks dikarenakan pernyataan ini merupakan inti dari pembahasan selanjutnya. Disamping juga merujuk pada Suriasumantri (2013) bahwa dalam ontologi mengkaji beberapa hal, meliputi metafisika, asumsi, dan peluang.

Metafisika memiliki pengertian sebagai kekuatan yang ada dibalik suatu keadaan (yang nampak). Dalam narasi tersebut metafisikanya adalah melempemnya demokrasi liberal yang menyembabkan muncul berbagai masalah dalam bidang agama maupun politik yang seakan tercampur menjadi satu. Demokrasi liberal tidak mampu menangkap kodrat pluralistik sebuah realitas sosial dan konflik yang mengikutinya. Individualisme yang menjadi acuan antropologis demokrasi liberal sulit mencerna watak kolektif sebuah konflik. Alhasil inilah yang menjadi kekuatan pemicu semua gejolak yang ada.

Kemudian asumsi dimaknai sebagai kesatuan pemahaman yang diterima. Maksudnya, asumsi merupakan bagian dari penyimpulan yang diambil berdasarkan suatu fenomena. Dari narasi yang memaparkan berbagai gejolak tersebut, asumsi yang dapat diambil adalah Demokrasi liberal tidak dapat menjawab pertanyaan tentang bagaimana kaum demokrat sebagai identitas kolektif diciptakan sebagai lawan sepadan bagi identitas sektarian. Yang mana, asumsi muncul dari ontologi narasi sebagaimana dikemukakan di atas.

Selanjutnya peluang dimaknai sebagai kesempatan. Munculnya konflik, pengkotak-kotakan diri dan sebagainya merupakan peluang yang muncul akibat ketidakmampuan demokrasi liberal melahirkan kaum demokrat sebagai identitas kolektif. Hal ini pula muncul dari ontologi yang telah dikemukakan di atas.

Suaedi (2016: 83) menyebutkan bahwa fungsi dan manfaat dalam mempelajari ontologi, yaitu berfungsi sebagai refleksi kritis atas objek atau bidang garapan, konsep-konsep, asumsi-asumsi, dan postulat-postulat ilmu. Di antara asumsi dasar keilmuan antara lain pertama, dunia ini ada, dan kita dapat mengetahui bahwa dunia ini benar ada. Kedua, dunia empiris dapat diketahui oleh manusia dengan pancaindra. Ketiga, fenomena yang terdapat di dunia ini berhubungan satu dengan yang lainnya secara kausal.

Mengkaitkan fungsi dan manfaat ontologi tersebut dengan narasi/teks maka dapat terasumsi dengan mengambil ontologi sebagaimana di atas, maka akan mampu terefleksi secara kritis isi dari narasi/teks tersebut, yang mana memang merujuk pada beberapa hal, antara lain pertama, permasalahan tersebut memang ada, dan ontologi yang sudah ditentukan merupakan inti kajiannya. Kedua bahwa isu yang diungkap pleh penulis (Donny Gahral Adian) merujuk pada pengamatan dengan pancaindranya. Ketiga, terlihat jelas bahwa dalam narasi/teks tersebut masalah demokrasi liberal mampu melahirkan berbagai masalah baru.

  1. Epistemologi

            Epistemologi atau teori pengetahuan cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Epistemologis membahas tentang terjadinya dan kesahihan atau kebenaran ilmu (Suaedi, 2016: 89). Suriasumantri (2013: 99) merumuskan bahwa epistemologi merupakan cara mendapatkan pengetahuan yang benar. Sedangkan W. Huitt (dalam Kuntjojo, 2009: 22), dalam artikelnya yang berjudul “Measurement, Evaluation, and Research : Ways of Knowing”, menyatakan bahwa ada lima macam cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar (kebenaran) yaitu : pengalaman, intuisi, agama, filsafat, dan ilmu.

            Dari pemaparan tersebut, dapat saya analisi bahwa dalam narasi/teks “Radikalisme dan Pancasila” yang menjadi epistemologinya adalah “pengutamaan penggunaan diskusi dan bukan kontestasi”. Dari lima cara mendapatkan pengetahuan menurut W. Huitt, cara yang ditempuh adalah melalui pengalaman. Sebagaimana dalam wikipedia.org demokrasi liberal adalah sistem politik yang menganut kebebasan individu. kebebasan individu yang dimaksud memang masih dalam batas-batas tertentu tetapi tetap memberikan kebebasan demi menjalankan konsep memanusiakan manusia memberikan kesempatan berbicara sesuai amanat UU No. 9 tahun 1998. Kemudian diskusi sebagai wujud demokrasi dijadikan metode guna mencapai terwujudnya bangsa yang mampu menjalankan ideologi pancasila yang diilhami sebagai ideologi rakyat, yaitu pemerintahan yang oleh, dari, dan untuk rakyat.

            Dikaitkan dengan isi dari narasi/teks terlihat jelas, bahwa awalnya demokrasi liberal dimetodekan guna menuju kehidupan bangsa yang lebih baik, akan tetapi dikarenakan metode yang lebih mengarah pada diskusi, serta melempemnya penerapan dalam kehidupan berkebangsaan, semuanya menjadi tidak maksimal dan bahkan menyebabkan muncul berbagai kebebasan yang melewati batas. Munculnya berbagai konflik dalam menjalankan kehidupan di negeri ini juga tidak terlepas dari penerapan demokrasi liberal yang keblalasan. Keblablasn yang dimaksudkan adalah dari seringnya ada diskusi tanpa kontestasi, ada paradigma-paradigma baru yang muncul, dan karena kebebasan yang diperoleh dilindungi negara, terkadang hal negatif menjadi lebih gampang masuk walaupun tujuannya untuk memecah belah bangsa.

            Suaedi (2016: 93) juga menyebutkan bahwa Epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini, epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan kebenaran, mengenai hal yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak. Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan, dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti:

  1. Dari manakah saya berasal?
  2. Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam?
  3. Apa hakikat manusia?
  4. Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia?
  5. Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia?
  6. Mana pemerintahan yang benar dan adil?
  7. Mengapa keadilan itu ialah baik?
  8. Pada derajat berapa air mendidih?
  9. Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya?
  10. dan pertanyaan-pertanyaan yang lain.

Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, setiap individu akan memiliki jawaban yang berbeda-beda. Perbedaan jawaban yang dihasilkan nantinya juga akan memberikan arah pemikiran yang berbeda, tidak terkecuali pada konsep tentang Demokrasi Liberal, setiap individu akan memiliki pandangan yang berbeda-beda satu sama lain yang juga berujung pada berbagai fenomena yang diungkapkan dalam narasi/teks. Ketika metodenya adalah dengan mengutamakan diskusi, maka kesimpulan yang diambil hanya berdasarkan pemikiran beberapa orang saja yang apabila mampu membentuk ideologi yang benar menurutnya maka akan dianggap sebagai kebenaran olehnya.

  1. Aksiologi

            Secara sederhana Suriasumantri (2013: 227) mendefinisikan bahwa aksiologi merupakan nilai kegunaan ilmu. Maksudnya adalah merujuk pada bagaimana sebuah ilmu yang telah dikembangkan oleh ilmuwan mampu didayagunakan dalam kehidupan manusia. Sedangkan menurut Kuntjojo (2009: 32-33) Aksiologi merupakan cabang filsafat yang berhubungan macam-macam dan kriteria nilai serta keputusan atau pertimbangan dalam menilai, terutama dalam etika atau nilai-nilai moral. Dari dua definisi tersebut, dapat ditelaah bahwa ketika berbicara tentang aksiologi selalu berbicara tentang nilai yang tentunya memiliki sesuatu bersifat positif. Namun Suaedi (2016: 105) menyebutkan bahwa sebuah ilmu bisa berdampak positif, bisa juga negatif bergantung bagaimana operasionalisasi ilmu dalam kontribusinya dalam memenuhi kebutuhan orang

banyak.

            Dan nampaknya pula, dari analisis saya pada narasi/teks “Radikalisme dan Pancasila” saya menemukan aksiologi yang cenderung bernilai negatif yaitu munculnya eksistensial tentang siapa “kami” dan siapa “mereka”. Ini terjadi tentunya akibat metode yang digunakan yang mana dalam hal ini “demokkrasi liberal” tidak dapat berjalan dengan sehat, terlalu keblablasan dan identitas yang ingin dibangkitkan menjadi melempem. Demokrasi liberal kini hanya menjadi sarang empuk bagi dunia politik yang kian hiruk pikuk. Identitas warga tidak lagi mengaku “kami orang Indonesia” tetapi sudah terpecah dengan ego masing-masing. sehingga muncullah identitas baru “kami orang A”, “kami orang B”, dan “kami orang C”. Pada akhirnya semua mengaku benar, semua menonjolkan ideologi masing-masing sehingga kerap kali memicu terjadinya konflik. Adanya pengkotak-kotakan dalam menjalankan demokrasi liberal merupakan wujud kesalahan dalam penerapanya. Identitas kolektif yang seharusnya tercipta dari demokrasi liberal kini malah berubah menjadi identitas sectarian.

            Demokrasi membutuhkan kaum demokrat sebagai kolektivitas yang militan. Bukan individu atomistik yang terasing satu sama lain. Individualisme, tidak akan mampu menangkal radikalisme. Sebab, justru di balik kebebasan individu radikalisme sering mendapatkan tempat persembunyiannya. Kolektivitas militan membutuhkan ideologi komunal-terbuka. Dengan kata lain, demokrasi harus diinjeksi oleh sesuatu dari luar dirinya. Dan Pancasila sesungguhnya dapat berfungsi sebagai antibodi bagi demokrasi melawan radikalisme. Akan tetapi, karena nilai yang diperoleh dari pelaksanaan demokrasi di negeri ini sudah terlanjur negatif, maka yang disalahkan bukanlah demokrasi liberal-nya melainkan individu yang menggerakkan negara ini.

            Mengutip dari Bramei (dalam Suaedi, 2016: 106),  aksiologi terbagi dalam 3 bagian penting, antara lain:

  1. Tindakan moral yang melahirkan etika
  2. Ekspresi keindahan yang melahirkan estetika
  3. Kehidupan sosial politik yang melahirkan filsafat sosial politik

Namun berdasarkan pengalaman pelaksanan demokrasi liberal di Indonesia tiga hal ini belum mampu dicapai secara maksimal dalam negeri, kehidupan lebih cenderung radikal yang mengancam keberadaan Pancasila sebagai dasar negara.

  1. Dimanakah titik “perselingkuhan” antara wilayah ilmu, agama dan filsafat pada uraian di atas, sehingga memunculkan dua persoalan yaitu: radikalisme dan identitas kolektif “kekamian, kekitaan, dan kemerekaan”.

Jawaban:

            Menurut Suaedi (2016: 20) Ilmu adalah pengetahuan. Namun, ada berbagai macam pengetahuan. Dengan “pengetahuan ilmu” dimaksud pengetahuan yang pasti, eksak, dan betul-betul terorganisir. Sementara Pirhat Abbas (2010: 130) mengemukakan Kata ilmu adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang di ambil dari akar kata ‘alima-ya‘limu-‘ilman/ilmun, yang berarti pengetahuan. Sehingga Ilmu itu adalah pengetahuan yang benar-benar tersusun secara terorganisir, sistematis, dan bermetode.

            Kemudian Agama (dalam wikipedia.org) didefinisikan sebagai sebuah koleksi terorganisir dan kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan. Agama merupakan sebuah keyakinan yang dimiliki oleh umat manusia yang mengagungkan kemahakuasaan Tuhan. Di Indonesia sendiri hingga saat ini sudah diakui enam agama resmi, yaitu Hindu, Budha, Islam, Katolik, Protestan, dan Konghucu.

            Menurut Suaedi (2016: 104) Pengertian umum  filsafat adalah pengenalan terhadap eksistensi (ontologi), realitas eksternal, dan hakikat keberadaan. Sementara filsafat dalam pengertian khusus (metafisika) adalah membahas kaidah-kaidah umum tentang eksistensi. Dalam dua pengertian tersebut, telah diasumsikan mengenai kemampuan, kodrat, dan validitas akal dalam memahami hakikat dan realitas eksternal. Atau ada pula yang menyebutkan bahwa filsafat adalah ilmu tentang kebenaran atau kebijaksanaan.

            Menganalisis narasi/teks Radikalisme dan Pancasila, saya menganalisis bahwa “perselingkuhan” antara ilmu, agama, dan filsafat menyebabkan munculnya radikalisme. Berawal dari demokrasi liberal yang diterapkan di Indonesia yang kemudia penerapannya lebih mengutamakan diskusi menyebabkan munculnya berbagai gerakan radikalisme. Memang menurut Pirhat Abbas (2010) bahwa ada titik temu (persamaan) dan titik tolak (perbedaan) antara ilmu, agama dan filsafat sebagai berikut:

  1. Titik Persamaan:

Filsafat, ilmu pengetahuan dan agama adalah bertujuan setidak-tidaknya berurusan dengan hal-hal yang sama, yaitu kebenaran dan bertindak atas dasar rumusan mengenai suatu kebenaran tersebut. Seperti filsafat berusaha untuk mencari kebenaran dengan jalan menggunakan akal, pikiran dan logika, ilmu pengetahuan berusaha mencari kebenaran dengan menggunakan metode ilmiah melalui penelitian-penelitian, sementara itu agama berusaha untuk menjelaskan kebenaran itu melalui wahyu dari Tuhan. Jadi ketiganya sasaran adalah sama, yaitu kebenaran. Jadi filsafat berupaya mencari kebenaran, ilmu berusaha membuktikan kebenaran sementara agama adalah berupaya menjelaskan kebenaran itu.

  1. Titik Perbedaan:

Filsafat dan ilmu pengetahuan kedua-duanya adalah sama-sama bersumber kepada ra’yu (akal, pikiran, budi, rasio, nalar dan reason) manusia untuk mencari kebenaran. Sementara itu agama mengungkapkan, menjelaskan dan membenarkan suatu kebenaran adalah bersumber dari wahyu.

            Namun ditengah titik persamaan dan titik perbedaan itu, radikalisme muncul akibat ilmu, agama dan filsafat dibawa keranah politik. Akibat jalinan kasih yang sangat mesra antara ketiga aspek ini dengan kehidupan politik identitas kolektif yang dulu diagung-agungkan perlahan sirna dengan kemunculan identitas sectarian. Ilmu, agama dan filsafat diperankan dalam ranah politik hanya sebagai alat pendongkrak menuju kekuasaan. Dengan jalinan kasih yang begitu mesra diantara semuanya dominasi maupun hegemoni politik perlahan akan mampu diperoleh. Ketika politik sudah mengandalkan berbagai macam cara, ilmu politik, falsafah bangsa dan bahkan agama dicampuradukan terjadilah saling klaim kebenaran.

            Apabila klaim kebenaran dan ideologi terus terjadi maka kelompok-kelmpok kecil sebagai identitas sectarian akan dengan lantang menyuarakan bahwa “kami” lebih baik dari “mereka” dan “kita” akan mempu mengalahkan “mereka”. Dan tentunya titik “perselingkuhan” antara ilmu, agama, dan filsafat adalah menjalankan kepentingan politik untuk mendominasi atau menghegemoni bangsa ini.

Referensi:

  1. Abbas, Pirhat. Hubungan Filsafat, Ilmu, dan Agama (Jurnal). Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010
  2. 2009. Filsafat Ilmu. Kediri:  Program Studi Pendidikan Bimbingan Dan Konseling Universitas Nusantara PGRI Kediri.
  3. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: PT Penerbit IPB Press
  4. Suriasumantri, Jujun. 2013. Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
  5. org